Thursday, 3 November 2016
Monday, 24 October 2016
Posted by Unknown on 05:30 with No comments
MAKALAH
|
October
21, 2016
Masa Revolusi
Perancis
|
||
SMA N 1 BOYOLALI
|
|||
Oleh :
╟
Abraham
Gamma P (01)
╟
Bima
Aji K (08)
╟
Chandraka
Rahsa K (10)
╟
Erlangga
Bisma K (13)
KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang, kami ucap dan
panjatkan puji syukur atas kehadirat – Nya yang telah memberikan rahmat dan
hidayah – Nya kepada kami sehingga makalah Sosiologi tentang Deferensiasi
Sosial dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan.
Makalah ini
kami susun dengan maksimal dan dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman
tentang Revolusi Perancis untuk suatu pembelajaran tentang Sejarah serta untuk
menambah ilmu dan pengetahuan bagi para pembaca.
Kami
menyadari masih banyak kekurangan yang mendasar dari penulisan makalah ini,
baik dari bahasa, kata – kata, maupun susunannya. Maka dari itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik
lagi.
Terima
kasih, dan kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca dan
memberikan dampak positif bagi kita semua.
Boyolali, 21
Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
A. PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
B. PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1. Latar Belakang Revolusi Perancis. . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2. Proses Terjadinya Revolusi Perancis . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3.
Dampak Revolusi
Perancis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . .
C.
PENUTUP . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . .
1. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2. Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . .
BAB 1
PENDAHULUAN
Sebelum
meletus revolusi, masyarakat Prancis terbagi ke dalam tiga golongan politik:
pertama, golongan bangsawan kaya yang berjumlah sekitar 400.000 orang; kedua,
terdiri dari golongan gereja atau agamawan yang berjumlah sekitar 100.000 yang
terdiri dari rahib dan biarawan katolik, pendeta dan uskup; dan ketiga,
meliputi sekitar 99% warga negara Prancis. Golongan ketiga ini pun dibagi ke
dalam tiga bagian: (1) golongan menengah (borjuis) seperti
ahli hukum, dokter, pedagang, pengusaha dan pemilik pabrik; (2) kaum buruh dan
pekerja, dan; (3) golongan petani. Hak-hak politik dan hak-hak istimewa antar
golongan tidak terbagi secara merata. Berbagai masalah pun muncul yang pada
akhirya timbul lah gerakan revolusi Perancis.
Penyerbuan Bastille, 14 Juli 1789 |
BAB 2 PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Revolusi Perancis
Latar belakang terjadinya revolusi perancis
disebabkan oleh tiga faktor yaitu: faktor ketidak adilan politik, kekuasaan
raja yang absolut, krisis ekonomi, dan munculnya paham baru.
Dalam bidang politik, kaum bangsawan memegang
peranan yang sangat penting dalam bidang politik, sehingga segala sesuatunya
ditentukan oleh bangsawan sedangkan raja hanya mengesahkan saja. Ketidakadilan
dalam bidang politik dapat dilihat dari pemilihan pegawai-pegawai pemerintah
yang berdasarkan keturunan dan bukan berdasarkan profesi atau keahlian, Hal ini
menyebabkan administrasi negara menjadi kacau dan berakibat munculnya tindakan
korupsi. Ketidakadilan politik lainnya adalah tidak diperkenankannya masyarakat
kecil untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan.
Pemerintahan Louis XIV bersifat monarki
absolut, di mana raja dianggap selalu benar. Semboyan Louis XIV adalah l'etat
c'est moi (negara adalah saya). Untuk mempertahankan keabsolutannya
itu, ia mendirikan penjara Bastille. Penjara ini diperuntukkan bagi siapa saja
yang berani menentang keinginan raja. Penahanan juga dilakukan terhadap orang-orang
yang tidak disenangi raja. Mereka ditahan dengan surat penahanan tanpa sebab (lettre
du cas). Absolutisme Louis XIV tidak terkendali karena kekuasaan raja tidak
dibatasi undang-undang.
Sebab lain terjadinya Revolusi Prancis adalah
adanya krisis keuangan. Kehidupan raja dan para bangsawan istana serta
permaisuri Louis XVI ,yakni Maria Antoinette (terkenal dengan sebutan Madame
deficit) yang hidup penuh dengan kemewahan dan kemegahan. Di samping itu, adanya
warisan hutang dari Raja Louis XIV dan Louis XV menjadikan hutang negara makin
menumpuk. Satu-satunya cara untuk mengatasi krisis keuangan ini adalah dengan
cara memungut pajak dari kaum bangsawan, tetapi golongan bangsawan menolak dan
menyatakan bahwa yang berhak menentukan pajak adalah rakyat. Raja Prancis,
Louis XVI menyadari bahwa masalah keuangan negara dapat teratasi bila setiap
orang atau golongan membayar pajak. Akan tetapi karena mereka tidak memiliki
kewibawaan dalam menindak golongan I dan II, maka golongan tersebut tetap
memiliki hak-hak istimewa dan bebas dari pajak.
Raja Perancis Louis (Ludvig) XVI
Pemerintah Perancis menghadapi krisis keuangan pada tahun 1780-an, dan Louis XVI dikritik karena tidak mampu menangani masalah ini.
|
Selain faktor ketidak adilan politik dan krisi
ekonomi, munculnya filsuf-filsuf pembaharu juga turut andil dalam meletusnya
revolusi Prancis dengan pengaruh paham rasionalisme mereka. Paham ini hanya mau
menerima suatu kebenaran yang dapat diterima oleh akal. Paham ini telah
melahirkan renaisans dan humanisme yang menuntun manusia bebas berpikir dan
mengemukakan pendapat. Oleh karena itu, muncullah ahli-ahli pikir yang
karya-karyanya berpengaruh besar terhadap masyarakat Eropa pada saat itu
termasuk tokoh masyarakat Prancis, seperti berikut :
1.
John
Locke ( 1685–1753) dengan karyanya yang berjudul Two Treaties of Government
yang mengumandangkan ajaran kedaulatan rakyat.
2.
Montesquieu
(1689–1755) dengan karyanya L'es prit des Lois (Jiwa
Undang-Undang). Dalam buku itu terdapat teorinya tentang trias politika yakni
tentang pemisahan kekuasaan antara legislatif (pembuat undang-undang),
eksekutif (pelaksana undang-undang, dan Judikatif (pengatur pe-ngadilan segenap
pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku. Hal ini semua dimaksudkan agar
tidak terjadi sewenang-wenang).
3.
J.J.
Rousseau ( 1712–1778) dengan karyanya Du Contract Social (Perjanjian
Masyarakat). Rousseau mengatakan bahwa menurut kodratnya manusia sama dan
merdeka. Setiap manusia pada prinsipnya sama dan merdeka dalam mengatur
kehidupannya kemudian membentuk semacam perjanjian sesama anggota masyarakat
atau contract social. Melalui perjanjian bersama itu, dibentuk suatu badan yang
diserahi kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan ketertiban masyarakat
yaitu pemerintah. Dengan demikian, kedaulatan sebenarnya bukan pada badan
(pemerintah), melainkan pada rakyat.
“Karikatur Etats Ketiga (orang biasa) yang membawa Etats Pertama (pendeta) dan Etats Kedua (bangsawan) di punggungnya. “ |
B.
Proses
Terjadinya Revolusi Perancis
Untuk mengatasi krisis ekonomi,
raja memanggil Dewan Perwakilan Rakyat (Etats Generaux). Dewan ini
ternyata tidak mampu mengatasi masalah sebab dalam sidang justru terjadi
pertentangan mengenai hak suara. Golongan I dan II menghendaki tiap golongan
memiliki satu hak suara, sementara golongan III menghendaki setiap wakil
memiliki hak satu suara. Jika dilihat dari proporsi jumlah anggota Etats
Generaux yang terdiri atas golongan I, 300 orang, golongan II 300
orang, dan golongan III 600 orang, dapat disimpulkan bahwa golongan I dan II
menghendaki agar golongan III kalah suara sehingga rakyat tidak mungkin menang.
Jika kehendak golongan III yang dimenangkan, golongan I dan II terancam sebab
di antara anggota mereka sendiri ada orang-orang yang bersimpati pada rakyat.
Pada tanggal 17 Juni 1789, anggota Etats
Generaux dari golongan III mengadakan sidang sendiri, didukung oleh
sebagian kecil anggota dari golongan I dan II. Peserta sidang menyatakan diri
sebagai Majelis Nasional yang bertujuan memperjuangkan terbentuknya konstitusi
tertulis bagi Prancis. Raja berusahamembubarkan organisasi yang dipimpin Jean
Bailly dengan dukungan Comtede Mirabeau ini, baik dengan jalan perundingan
maupun dengan kekerasan. Sikap raja yang berusaha membubarkan Majelis Nasional
dengan jalan kekerasan menimbulkan kemarahan rakyat dan terjadilah huru-hara.
Puncak huru-hara terjadi tanggal 14 Juli 1789, ketika rakyat menyerbu dan
meruntuhkan penjara Bastille, lambang kekuasaan mutlak raja. Penyerangan ini
didukung oleh Tentara Nasional yang dipimpin Lafayette.
Pertemuan Etats-Généraux pada tanggal 5 Mei 1789 di Versailles. |
Ketika terjadi pemberontakan
oleh rakyat, Louis XVI melarikan diri ke luar negeri. Kesempatan ini
dipergunakan oleh rakyat untuk membentuk pemerintahan baru yang demokratis.
Dewan Perancang Undang-Undang yang terdiri dari Partai Feullant dan Partai
Jacobin segera membentuk Konstitusi Prancis pada tahun 1791. Partai Feullant
adalah partai yang proraja, sedangkan Partai Jacobin adalah partai yang
prorepublik. Partai Jacobin beranggotakan kaum Geronde dan Montague. Partai ini
dipimpin oleh tiga sekawan, Robespiere, Marat, Danton. Keadaan negara yang
semakin berbahaya membuat Dewan Legislatif membentuk pemerintahan republik pada
tanggal 22 September 1792. Raja Louis XVI dan istrinya dijatuhi hukuman pancung
dengan quillotine pada tanggal 22 Januari 1793.
Setelah Raja Lous XVI dan
istrinya dijatuhi hukuman mati, Prancis pun mengalami berbagai jenis
pemerintahan, diantaranya:
1.
Pemerintahan Monarki Konstitusional (1789-1793)
14 Juli 1789 merupakan langkah
awal yang diambil oleh pemerintah revolusi, yaitu dengan dibentuk Pasukan
Keamanan Nasional yang dipimpin oleh Jendral Lafayette. Selanjutnya dibentuk
Majelis Konstituante untuk menghapus hak-hak istimewa raja, bangsawan, dan
pimpinan gereja. Semboyan rakyat segera dikumandangkan oleh J.J. Rousseau
yaitu liberte, egalite dan fraternite.
Dewan perancang undang-undang
terdiri atas Partai Feullant dan Partai Jacobin. Partai Feullant bersifat pro
terhadap raja yang absolut, sedangkan Partai Jacobin menghendaki Prancis
berbentuk republik. Mereka beranggotakan kaum Gerondin dan Montagne di bawah
pimpinan Maxmilien de’Robespierre, Marat, dan Danton. Pada masa ini juga raja
Louis XVI dijatuhi hukuman pancung (guillotine) pada 22 Januari 1793 pada saat
itu bentuk pemerintahan Prancis adalah republik.
2.
Pemerintahan Teror atau Konvensi Nasional (1793-1794)
Pada masa ini pemegang kekuasaan pemerintahan
bersikap keras, tegas, dan radikal demi penyelamatan negara. Pemerintahan teror
dipimpin oleh Robespierre dari kelompok Montagne. Di bawah pemerintahannya
setiap orang yang kontra terhadap revolusi akan dianggap sebagai musuh Prancis.
Akibatnya dalam waktu satu tahun terdapat 2.500 orang Prancis dieksekusi,
termasuk permaisuri Louis XVI, Marie Antoinette. Hal ini menimbulkan reaksi
keras dari berbagai pihak. Akhirnya terjadi perebutan kekuasaan oleh kaum
Girondin. Robespierre ditangkap dan dieksekusi dengan cara dipancung bersama
dengan 20 orang pengikutnya. Pada Oktober 1795 terbentuklah pemerintahan baru
yang lebih moderat yang disebut Pemerintahan Direktori.
3.
Pemerintahan Direktori atau Direktorat (1795-1799)
Pada masa Direktori,
pemerintahan dipimpin oleh lima orang warga negara terbaik yang disebut
direktur. Masing-masing direktur memiliki kewenangan dalam mengatur masalah
ekonomi, politik sosial, pertahanan-keamanan, dan keagamaan. Direktori dipilih
oleh Parlemen. Pemerintah direktori ini tidak bersifat demokratis sebab hak
pilih hanya diberikan kepada pria dewasa yang membayar pajak. Dengan demikian
wanita dan penduduk miskin tidak memiliki hak suara dan tidak dapat
berpartisipasi. Pada masa pemerintahan direktori, rakyat tidak mempercayai
pemerintah karena sering terjadinya tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat
pemerintah yang berakibat terancamnya kesatuan nasional Prancis. Akan tetapi,
dari segi militer Prancis mengalami kemajuan yang pesat, hal ini berkat
kehebatan Napoleon Bonaparte. Ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah ini
berhasil dimanfaatkan Napoleon untuk merebut pemerintahan pada tahun 1799.
4.
Pemerintahan Konsulat (1799-1804)
Pemerintahan konsulat dibagi ke
dalam tiga bagian, yaitu Napoleon sebagai Konsulat I, Cambaseres sebagai
Konsulat II, dan Lebrun sebagai Konsulat III. Akan tetapi dalam perjalanan
sejarah selanjutnya Napoleon berhasil memerintah sendiri. Di bawah pimpinan
Konsulat Napoleon, Perancis berhasil mencapai puncak kejayaannya. Tidak hanya
dalam bidang militer akan tetapi juga dalam bidang sosial, politik, ekonomi,
dan budaya. Pada tahun 1803 Napoleon terpilih sebagai kaisar Prancis atas dasar
voting dalam sidang legislatif. Penobatannya dilaksanakan pada 2 Desember 1804
oleh Paus VII.
5.
Masa Pemerintahan Kaisar (1804-1815)
Napoleon sebagai kaisar dimulai
dengan pemerintahannya yang bersifat absolut. Hal ini jelas tidak disukai oleh
rakyat Prancis. Napoleon memiliki keinginan untuk mengembalikan kekuasaan raja
secara turun-temurun dan menguasai seluruh wilayah Eropa. Ia mengangkat
saudara-saudaranya menjadi kepala negara terhadap wilayah yang berhasil
ditaklukannya. Oleh karena itu, pemerintahan Napoleon disebut juga pemerintahan
nepotisme.
Pemerintahan kekaisaran
berakhir setelah Napoleon ditangkap pada tahun 1814 setelah kalah oleh
negara-negara koalisi dan dibuang di Pulau Elba. Karena kecerdikannya Napoleon
berhasil melarikan diri dan segera memimpin kembali pasukan Prancis untuk
melawan tentara koalisi selama 100 hari. Namun, karena kekuatan militer yang
tak seimbang, akhirnya Napoleon mengalami kekalahan dalam pertempuran di
Waterloo pada tahun 1915. Dia dibuang ke pulau terpencil di Pasifik bagian
selatan, St. Helena sampai akhirnya meninggal pada tahun 1821.
Battle of Waterloo |
6.
Pemerintahan Reaksioner
Rakyat merasa tidak senang
terhadap sistem pemerintahan absolut yang dilakukan oleh Napoleon. Oleh karena
itu rakyat kembali memberi peluang pada keturunan Raja Louis XVIII untuk
menjadi raja di Prancis kembali (1815-1842). Raja yang berkuasa pada saat
sistem pemerintahan Reaksioner, selain Raja Louis XVIII, adalah Raja Charles X
(1824-1840) dan Raja Louis Philippe (1830-1848).
C.
Dampak
Revolusi Perancis
Revolusi Perancis telah membawa
pengaruh yang besar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang meliputi
bidang politik, ekonomi dan sosial. Jiwa, semangat dan nilai-nilai revolusi
sudah tertanam secara luas dan mendalam di hati rakyat dengan semboyan liberte,
egalite, dan fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaran).
1.
Di
bidang politik, tampak jelas dengan meluasnya paham liberal di Spanyol, Italia,
Jerman, Austria dan Rusia. Rakyat menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan
undang-undang sehingga terbentuklah pemerintahan monarki konstitusional.
Berkembangnya semangat nasionalisme. Hal ini muncul setelah Perancis menghadapi
Perang Koalisi. Mereka menentang intervensi asing, semangat ini juga menjalar
ke negara-negara lain. Di samping itu juga berkembang paham demokrasi di
kalangan rakyat, mereka menuntut dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat, negara
republik, dan sebagainya.
2.
Di
bidang ekonomi, dihapuskannya pajak feodal dan petani yang semula hanya sebagai
penggarap tanah menjadi petani pemilik tanah sendiri. Di samping itu,
dihapuskannya sistem gilde sehingga perindustrian dan perdagangan menjadi
berkembang.
3.
Di
bidang sosial, dihapuskannya susunan masyarakat feodal yang terbagi menjadi
tiga golongan dan digantikannya dengan masyarakat baru yang berdasarkan
spesialisasi kerja, seperti cendekiawan, pengusaha, petani dan sebagainya.
BAB 3 PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Pengaruh pemikiran yang dihasilkan oleh revolusi Perancis terhadap
pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah usaha untuk mewujudkan suatu negara
merdeka yang bebas dari belenggu penjajahan. Pada saat penyusunan bentuk
pemerintahan, para pendiri negara (The Founding Fathers)
tidak memilih bentuk kerajaan akan tetapi memilih bentuk Republik. Hal ini
tampaknya secara tidak langsung mendapatkan pengaruh dari revolusi Prancis
karena bentuk negara Republik memungkinkan untuk terbangunnya suasana
pemerintahan yang demokratis. Seperti ditunjukkan oleh penyebab timbulnya
revolusi Prancis, walau bagaimanapun bentuk kerajaan akan cenderung mengarahkan
pada munculnya kekuasaan raja yang absolut dan tirani apabila tidak dibatasi
dengan undang-undang. Oleh karena itu, pembentukan negara Republik Indonesia
didasarkan pada Undang-undang Dasar yang dapat menjadi pengontrol jalannya
kekuasaan. Di Indonesia juga diberlakukan pola pembagian kekuasaan seperti yang
dikemukakan oleh Montesquieu. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden
beserta jajaran menterinya, kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR dan MPR,
sementara kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung Konstitusi, dan
Mahkamah Yudisial.
1.2
Saran
Menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya kami akan lebih baik dan detail dalam menjelaskan tentang materi
diatas dengan sumber yang lebih banyak.
Posted in Sejarah Peminatan
Monday, 26 September 2016
Posted by Unknown on 03:15 with No comments
Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Perang Aceh memiliki dua sifat perlawanan yaitu Nasionalisme dan Keagamaan.
Sebab Umum
Pada tanggal 22 Maret 1873, Belanda menuntut agar Aceh mengakui kedaulatan pemerintah kolonial Belanda. Namun tuntutan itu ditolak oleh Aceh. Kemudian 4 hari setelah penolakan itu, pemerintah kolonial mengumumkan perang kepada Aceh. Peristiwa itu menandai mulainya Perang Aceh.
Fase Perang Aceh
Masa Permulaan
Belanda menyerang Kotaraja sekarang bernama Banda Aceh dan menduduki wilayah di sekitarnya yang menyebabkan menyingkirnya Sultan Aceh ke wilayah pedalaman. Belanda yang tidak memperoleh jawaban apakah tunduk atau tidaknya rakyat Aceh kepada Belanda Kemudian menyatakan perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873. Serangan Belanda yang ditujukan kepada Aceh yaitu sebagai berikut:
Masa Konsentrasi Stelsel
Belanda hanya dapat bertahan di daerah daerah yang telah dikuasai dikarenakan minimnya biaya perang yang dimiliki dan untuk mempertahankan daerah yang dikuasai, Belanda membentuk permerintahan sipil dengan membuat pos pos yang dihubungkan dengan kendaraan. Tanah terbuka diluar wilayah dibiarkan kosong untuk memudahkan dalam mengetahui penyerang.
Sementara dari pihak Aceh, Teuku Umar berpura pura menyerah kepada Belanda dan berhasil memperoleh 800 senjata dan uang $18.000.
Belanda mendatangkan seorang ahli agama islam bernama Dr. Snouck Hurgronje untuk dimintai nasihat dalam menyelesaikan perang Aceh. Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Masa Akhir Perang
Belanda berkeinginan untuk segera menyelesaikan perang dengan menggunakan nasehat Dr. Snouck Hurgronje.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Dengan Kalahnya Aceh, Belanda mengeluarkan Plakat Pendek yang berisi :
Sebab Umum
- Belanda ingin menguasai Aceh
- Letak Aceh sangat strategis yaitu di Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran internasional
- Pelayaran Belanda di Selat Malaka sering diganggu oleh pelaut Aceh
- Traktat Sumatera yang ditandatangani oleh Inggris dan Belanda pada tahun 1871 memberi peluang Belanda untuk menyerang Aceh
- Belanda mencurigai Aceh yang menjalin hubungan diplomatik dengan Turki, AmerikaSerikat, Italia, dan Singapura.
Pada tanggal 22 Maret 1873, Belanda menuntut agar Aceh mengakui kedaulatan pemerintah kolonial Belanda. Namun tuntutan itu ditolak oleh Aceh. Kemudian 4 hari setelah penolakan itu, pemerintah kolonial mengumumkan perang kepada Aceh. Peristiwa itu menandai mulainya Perang Aceh.
Fase Perang Aceh
Masa Permulaan
Belanda menyerang Kotaraja sekarang bernama Banda Aceh dan menduduki wilayah di sekitarnya yang menyebabkan menyingkirnya Sultan Aceh ke wilayah pedalaman. Belanda yang tidak memperoleh jawaban apakah tunduk atau tidaknya rakyat Aceh kepada Belanda Kemudian menyatakan perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873. Serangan Belanda yang ditujukan kepada Aceh yaitu sebagai berikut:
- Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873.
- Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten dengan kekuatan 7000 orang. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Masa Konsentrasi Stelsel
Belanda hanya dapat bertahan di daerah daerah yang telah dikuasai dikarenakan minimnya biaya perang yang dimiliki dan untuk mempertahankan daerah yang dikuasai, Belanda membentuk permerintahan sipil dengan membuat pos pos yang dihubungkan dengan kendaraan. Tanah terbuka diluar wilayah dibiarkan kosong untuk memudahkan dalam mengetahui penyerang.
Sementara dari pihak Aceh, Teuku Umar berpura pura menyerah kepada Belanda dan berhasil memperoleh 800 senjata dan uang $18.000.
Belanda mendatangkan seorang ahli agama islam bernama Dr. Snouck Hurgronje untuk dimintai nasihat dalam menyelesaikan perang Aceh. Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Masa Akhir Perang
Belanda berkeinginan untuk segera menyelesaikan perang dengan menggunakan nasehat Dr. Snouck Hurgronje.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Dengan Kalahnya Aceh, Belanda mengeluarkan Plakat Pendek yang berisi :
- Pengakuan kedaulatan Belanda atas daerahnya
- Berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan negara asing
- Patuh kepada Pemerintahan Belanda
Kelompok :
Agas Prayustisio Aji (03)
Angga Budhi K (05)
Bima Aji K (08)
Chandraka Rahsa K (10)
Muhammad Ezar A (19)
Posted in Sejarah
Wednesday, 24 August 2016
Posted by Unknown on 16:38 with 2 comments
A. Latar Belakang.
Politik pintu terbuka (Open Door Policy) mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1870. Ini merupakan salah satu politik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak saat itu pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha asing untuk menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan.
Pada periode antara tahun 1870 – 1900 merupakan masa liberaliswme, dimana pada masa itu, pemerintahan Hindia Belanda dipegang oleh kaum liberal yang kebanyakan terdiri dari pengusaha swasta yang mendapat kesempatan untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan cara besar-besaran.
Mereka pun mengusahakan perkebunan besar seperti perkebunan kopi, teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau, kelapa sawit, dan sebagainya. Mereka juga mendirikan pabrik, seperti pabrik gula, pabrik cokelat, teh, rokok, dan lain-lain. Oleh karena itu, pelaksanaan politik Pintu Terbuka ditandai dengan keluarnya undang-undang agraria pada tahun 1870 dan undang-undang gula.
B. Pengertian Politik Pintu Terbuka
Politik pintu tebuka adalah pelaksanaan politik kolonial liberal di Indonesia, dimana golongan liberal Belanda berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah cukup berperan mengawasi saja.
Pada tahun 1860-an politik batig slot (mencari keuntungan besar) mendapat pertentangan dari golongan liberalis dan humanitaris. Kaum liberal dan kapital memperoleh kemenangan di parlemen.
C. Isi Undang-undang Agraria Tahun 1870
D. Tujuan Penetapan Undang-undang Agraria
Atau dengan kata lain, undang-undang tersebut dibuat hanya demi semata-mata keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda saja. Rakyat tetap menderita karena yang menikmati keuntungan adalah penguasa. Dalam hal ini, undang-undang Agraria juga mengatur tentang pembagian golongan tanah, yaitu:
E. Undang-Undang Gula (Suiker Wet)
Selain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga mengeluarkan Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870.
Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha perkebunan gula.
Isi dari UU Gula ini yaitu:
Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul.
Dampak Positif
1. Angga Budhi K
2.Hartiwi
3.Hanijaya I P
4.Zulifa Khoirul U
5.Taufiq Ramadhan
6.None Akhsa
Politik pintu terbuka (Open Door Policy) mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1870. Ini merupakan salah satu politik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak saat itu pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha asing untuk menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan.
Pada periode antara tahun 1870 – 1900 merupakan masa liberaliswme, dimana pada masa itu, pemerintahan Hindia Belanda dipegang oleh kaum liberal yang kebanyakan terdiri dari pengusaha swasta yang mendapat kesempatan untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan cara besar-besaran.
Mereka pun mengusahakan perkebunan besar seperti perkebunan kopi, teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau, kelapa sawit, dan sebagainya. Mereka juga mendirikan pabrik, seperti pabrik gula, pabrik cokelat, teh, rokok, dan lain-lain. Oleh karena itu, pelaksanaan politik Pintu Terbuka ditandai dengan keluarnya undang-undang agraria pada tahun 1870 dan undang-undang gula.
- Pelaksanaan sistem tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, tetapi memberikan keuntungan besar bagi Pemerintah Hindia Belanda.
- Berkembangnya paham liberalisme sebagai akibat dari Revolusi Perancis dan Revolusi Industri sehingga sistem tanam paksa tidak sesuai lagi untuk diteruskan.
- Kemenangan Partai Liberal dalam Parlemen Belanda yang mendesak Pemerintah Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di negeri jajahannya (Indonesia). Hal itu dimaksudkan agar para pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai Liberal dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
- Adanya Traktat Sumatera pada tahun 1871 yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh. Sebagai imbalannya Inggris meminta Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat mananamkan modalnya di Indonesia.
B. Pengertian Politik Pintu Terbuka
Politik pintu tebuka adalah pelaksanaan politik kolonial liberal di Indonesia, dimana golongan liberal Belanda berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah cukup berperan mengawasi saja.
Pada tahun 1860-an politik batig slot (mencari keuntungan besar) mendapat pertentangan dari golongan liberalis dan humanitaris. Kaum liberal dan kapital memperoleh kemenangan di parlemen.
C. Isi Undang-undang Agraria Tahun 1870
- Pasal 1 : Gubernur jenderal tidak boleh menjual Tanah.
- Pasal 2 : Gubernur jenderal boleh menyewakan tanah menurut peraturan undang- undang.
- Pasal 3 : Dengan peraturan undang-undang akan diberikan tanah-tanah dengan hak erfpacht, yaitu hak pengusaha untuk dapat menyewa tanah dari gubernermen paling lama 75 tahun, dan seterusnya.
D. Tujuan Penetapan Undang-undang Agraria
- Melindungi petani-petani di tanah jajahan agar terjaga hak-hak miliknya atas tanah terhadap usaha penguasaan oleh orang-orang asing.
- Memberikan peluang kepada para penguasa asing untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia.
Atau dengan kata lain, undang-undang tersebut dibuat hanya demi semata-mata keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda saja. Rakyat tetap menderita karena yang menikmati keuntungan adalah penguasa. Dalam hal ini, undang-undang Agraria juga mengatur tentang pembagian golongan tanah, yaitu:
- Golongan tanah milik negara, yaitu tanah yang secara tidak langsung menjadi hak milik pribumi, seperti hutan-hutan dan tanah yang berada di luar milik desa dan penduduknya.
- Golongan tanah milik pribumi, yaitu semua sawah, ladang, dan sejenisnya.
E. Undang-Undang Gula (Suiker Wet)
Selain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga mengeluarkan Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870.
Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha perkebunan gula.
Isi dari UU Gula ini yaitu:
- Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
- Pada tahun 1891 semua perusahaan gula milik pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.
Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul.
- Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
- Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
- Perkebunan kina di Jawa Barat.
- Perkebunan karet di Sumatra Timur.
- Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.
- Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatra Utara.
Dampak Positif
- Sistem tanam paksa dihapuskan.
- Modal swasta asing mulai masuk dan ditanam di Indonesia.
- Rakyat Indonesia di pedesaan mulai mengenal arti pentingnya uang.
- Hindia Belanda (Indonesia) menjadi negara produsen hasil-hasil perkebunan yang penting.
- Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun proyek-proyek prasarana untuk mendukung dan memperlancar ekspor hasil-hasil perkebunan dari Indonesia.
- Kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk, dimana pendapatan penduduk Jawa pada awal abad ke-20 untuk setiap keluarga dalam 1 tahun sebesar 80 gulden. Dari jumlah tersebut masih dikurangi untuk membayar pajak kepada pemerintah sebesar 16 gulden. Oleh karena itu, penduduk hidup dalam kemiskinan.
- Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 karena jatuhnya harga kopi dan gula yang berakibat buruk bagi penduduk.
- Menurunnya konsumsi bahan makanan, terutama beras, sementara pertumbuhan penduduk Jawa meningkat cukup pesat.
- Menurunnya usaha kerajinan rakyat Indonesia karena kalah bersaing dengan banyaknya barang-barang impor dari Eropa.
- Pengangkutan dengan gerobak menjadi merosot penghasilannya setelah adanya angkutan dengan kereta api.
- Rakyat menderita karena masih diterapkannya kerja rodi dan adanya hukuman yang berat bagi yang melanggar peraturan Poenate Sanctie.
- Terjadi perubahan kepemilikan tanah dan tenaga kerja
- Penduduk semakin bertambah, sedangkan lahan pertanian semakin berkurang karena disewa untuk perkebunan. Akibatnya timbul kelaparan dimana-mana.
1. Angga Budhi K
2.Hartiwi
3.Hanijaya I P
4.Zulifa Khoirul U
5.Taufiq Ramadhan
6.None Akhsa
Posted in Sejarah
Posted by Unknown on 16:38 with No comments
Cultuur Stelsel
Pemerintah Belanda terus mencari cara bagaimana untuk mengatasi problem ekonomi. Berbagai pendapat dilontarkan oleh para tokoh dan pemimpin. Salah satunya pada tahun 1829, seorang bernama Johannes Van den Bosch mengajukan pada raja Belanda usulan yang berkaitan dengan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia, Konsep itu dikenal dengan nama Cultuur Stelsel.
Johannes Van den Bosch |
Cultuur Stelsel atau yang lebih dikenal dengan tanam paksa didasarkan atas hukum adat yang menyatakan bahwa “barang siapa berkuasa di suatu daerah ia memiliki tanah dan penduduknya”, sebelum kedatangan belanda, raja raja di Nusantara berkuasa atas kepemilikan tanah dan penduduk. ketika para raja tersebut takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja tersebut. oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanaman kepada pemerintah Belanda.
A. Latar Belakang Sistem Tanam Paksa
Hal yang mendorong Van den Bosch menerapkan kebijakan Sistem Tanam Paksa adalah :
1. Belanda kehilangan banyak biaya perang akibat keterlibatannya dalam berbagai peperangan semasa kejayaan Napoleon.
2. Terjadinya perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan berpisahnya Belgia dari Belanda pada 1830.
3. Terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830) yang menelan biaya besar (sekitar 20.000.000 Golden).
4. Kosongnya kas Belanda dan hutang besar yang ditanggung Belanda.
5. Pemasukan Belanda dari penanaman kopi tidak banyak.
6. Kegagalan dalam usaha mempraktekkan system liberal.
Penangkapan Diponegoro yang menandai berakhirnya Perang Diponegoro |
B. Aturan-Aturan Tanam Paksa
1. Rakyat diwajibkan menyediakan 1/5 dari lahan garapan miliknya untuk ditanami tanaman wajib (tanaman yang berkualitas ekspor).
2. Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib dibebaskan dari pajak tanah.
3. Hasil panen tanaman wajib harus diserahkan kepada pemerintah colonial, dan setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayar akan dibayarkan kembali pada rakyat.
4. Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk penggarapan tanaman wajib tidak boleh melebihi tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
5. Mereka yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari pertahun di lahan milik pemerintah Belanda.
6. Kegagalan panen tanaman wajib menjadi tangung jawab pemerintah, selain itu menjadi tanggung jawab rakyat.
7. Penggarapan tanaman wajib dibawah pengawasan langsung dari penguasa pribumi, pegawai Belanda mengawasi secara umum jalannya penggarapan dan pengangkutan.
Rakyat dipaksa bekerja di perkebunan milik pemerintah
dengan diawasi Pegawai Belanda
|
C. Pelaksanaan Cultuur Stelsel
Pada dasarnya dalam pelaksanaan sistem tanam paksa banyak sekali penyimpangan yang terjadi, aturan-aturan tanam paksa tidak diterapkan sebagaimana mestinya, yakni :
1. Rakyat lebih mencurahkan tenaga dan waktu untuk tanaman ekspor, sehingga tidak sempat mengerjakan sawah dan lading yang berakibat berkurangnya pangan bagi rakyat.
2. Rakyat yang tidak memiliki lahan harus bekerja melebihi batas waktu yang telah ditentukan.
3. Jatah tanah tanaman kualitas ekspor melebihi 1/5 tanah garapan, dan harus berada ditanah subur, akibatnya tanaman padi untuk pangan rakyat ditanam di lahan yang kurang subur sehingga hasil panen tidak maksimal.
4. Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib tetap dikenai pajak.
5. Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayar tidak dibayarkan kembali pada rakyat.
6. Kegagalan panen tanaman wajib tetap menjadi tanggung jawab rakyat.
Yang jelas pelaksanaan Tanam Paksa tidak sesuai dengan peraturan yang tertulis. Hal ini telah mendorong terjadinya tindak korupsi dari para pegawai dan pejabat yang terkait pelaksanaan Cultuur Stelsel. Tanam Paksa telah membawa penderitaan pada rakyat. Banyak pekerja yang jatuh sakit. Mereka dipaksa focus bekerja untuk Tanam Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarga tidak terurus. Bahkan kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah. Misalnya di Cirebon (1843-1844) di Demak (1849) dan Grobogan pada 1850.
Pelaksanaan peraturan yang demikian menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, antara lain :
1. Rakyat Indonesia
2. Kaum Pengusaha (Kapitalis)
3. Kaum Humanis Belanda seperti Baron van Hoevel dan E. Douwes Dekker
E. Douwes Dekker (Multatuli) dan Bukunya yang berjudul Max Havelaar
|
Kaum Liberal menuntut pelaksanaan tanam paksa di Hindia Belanda diakhiri. Hal tersebut didorong oleh terbitnya 2 buah buku pada 1860 yaitu buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samara Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak-Kontrak Gula) tulisan Frans van de Pute. Kedua buku ini memberikan kritik keras terhadap pelaksanaan tanam paksa dan penolakannya sudah menjadi pendapat umum. Oleh karena itu, secara berangsur-angsur mulai dihapus dan mulai diterapkan sistem politik ekonomi liberal.
D. Akibat dari Pelaksanaan Tanam Paksa
Tanam Paksa membawa dampak positif dan negative baik untuk Indonesia maupun Belanda. Dampak tersebut adalah :
1. Bagi Indonesia
a. Memunculkan kemiskinan, kesengsaraan, dan kelaparan.
b. Hasil produksi padi merosot
c. Dikenal berbagai jenis tanaman perkebunan
d. Rakyat Indonesia mengenal cara bercocok tanam secara modern
e. Dibangunnya berbagai saluran irigasi
f. Dibangunnya jaringan rel kereta api
Peta Jalur Kereta Api Masa Kolonial Belanda |
2. Bagi Belanda
a. Kas negara Belanda yang kosong terisi penuh.
b. Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c. Pabrik-pabrik Belanda kembali dapat beroperasi.
d. Kota Amsterdam dijadikan tempat pemasaran hasil tanaman dari daerah tropis.
e. Pelayaran dan perdagangan mengalami peningkatan.
Maaf tulisan ini masih belum sempurna, karena Kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
SEKIAN SEMOGA BERMANFAAT
Penyusun :
1. Bima Aji K (08)
2. Enggar Puspitarini (12)
3. Intan Salfa Z (17)
4. Muhammad Ezar A (19)
5. Nastiti Ajeng P (20)
6. Pertiwi Oktavia S (22)
7. Widya Wati (28)
Uploader : Bima Aji K
Posted in Sejarah
Subscribe to:
Posts (Atom)