Wednesday 24 August 2016

Politik Pintu Terbuka

A. Latar Belakang.

Politik pintu terbuka (Open Door Policy) mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1870. Ini merupakan salah satu politik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak saat itu pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha asing untuk menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan.

Pada periode antara tahun 1870 – 1900 merupakan masa liberaliswme, dimana pada masa itu, pemerintahan Hindia Belanda dipegang oleh kaum liberal yang kebanyakan terdiri dari pengusaha swasta yang mendapat kesempatan untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan cara besar-besaran.

Mereka pun mengusahakan perkebunan besar seperti perkebunan kopi, teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau, kelapa sawit, dan sebagainya. Mereka juga mendirikan pabrik, seperti pabrik gula, pabrik cokelat, teh, rokok, dan lain-lain. Oleh karena itu, pelaksanaan politik Pintu Terbuka ditandai dengan keluarnya undang-undang agraria pada tahun 1870 dan undang-undang gula.

  1. Pelaksanaan sistem tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, tetapi memberikan keuntungan besar bagi Pemerintah Hindia Belanda.
  2. Berkembangnya paham liberalisme sebagai akibat dari Revolusi Perancis dan Revolusi Industri sehingga sistem tanam paksa tidak sesuai lagi untuk diteruskan.
  3. Kemenangan Partai Liberal dalam Parlemen Belanda yang mendesak Pemerintah Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di negeri jajahannya (Indonesia). Hal itu dimaksudkan agar para pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai Liberal dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
  4. Adanya Traktat Sumatera pada tahun 1871 yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh. Sebagai imbalannya Inggris meminta Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat mananamkan modalnya di Indonesia.

B. Pengertian Politik Pintu Terbuka

Politik pintu tebuka adalah pelaksanaan politik kolonial liberal di Indonesia, dimana golongan liberal Belanda berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah cukup berperan mengawasi saja.

Pada tahun 1860-an politik batig slot (mencari keuntungan besar) mendapat pertentangan dari golongan liberalis dan humanitaris. Kaum liberal dan kapital memperoleh kemenangan di parlemen.

C. Isi Undang-undang Agraria Tahun 1870

  1. Pasal 1 : Gubernur jenderal tidak boleh menjual Tanah.
  2. Pasal 2 : Gubernur jenderal boleh menyewakan tanah menurut peraturan undang- undang.
  3. Pasal 3 : Dengan peraturan undang-undang akan diberikan tanah-tanah dengan hak erfpacht, yaitu hak pengusaha untuk dapat menyewa tanah dari gubernermen paling lama 75 tahun, dan seterusnya.
Jadi, undang-undang Agraria pada intinya menjelaskan bahwa semua tanah milik penduduk Indonesia adalah milik pemerintah Hindia Belanda. Maka pemerintah Hindia Belanda memberi mereka kesempatan untuk menyewa tanah milik penduduk dalam jangka waktu yang panjang.

D. Tujuan Penetapan Undang-undang Agraria
  1. Melindungi petani-petani di tanah jajahan agar terjaga hak-hak miliknya atas tanah terhadap usaha penguasaan oleh orang-orang asing.
  2. Memberikan peluang kepada para penguasa asing untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia.
Jika dibaca sepintas, kelihatannya undang-undang Agraria ini nampak menjanjikan sekaligus memberikan harapan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Namun sebenarnya pada kenyataannya tidak seperti itu. Hal yang sebenarnya adalah bahwa undang-undang Agraria tersebut bukanlah milik rakyat Indonesia, melainkan milik pemerintah Hindia Belanda.

Atau dengan kata lain, undang-undang tersebut dibuat hanya demi semata-mata keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda saja. Rakyat tetap menderita karena yang menikmati keuntungan adalah penguasa. Dalam hal ini, undang-undang Agraria juga mengatur tentang pembagian golongan tanah, yaitu:
  1. Golongan tanah milik negara, yaitu tanah yang secara tidak langsung menjadi hak milik pribumi, seperti hutan-hutan dan tanah yang berada di luar milik desa dan penduduknya.
  2. Golongan tanah milik pribumi, yaitu semua sawah, ladang, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, tanah milik pemerintah dapat disewa oleh kaum penguasa selama 75 tahun, sedangkan tanah milik penduduk dapat disewa selama 5 tahun dan ada pula yang dapat disewakan selama 30 tahun. Sewa-menyewa antara pemilik dilaksanakan berdasarkan perjanjian sewa-menyewa (kontrak) dan harus didaftarkan kepada pemerintah.

E. Undang-Undang Gula (Suiker Wet)

Selain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga mengeluarkan Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870.

Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha perkebunan gula.

Isi dari UU Gula ini yaitu:
  1. Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
  2. Pada tahun 1891 semua perusahaan gula milik pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.
Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan.

Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul.
  1. Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
  2. Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
  3. Perkebunan kina di Jawa Barat.
  4. Perkebunan karet di Sumatra Timur.
  5. Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.
  6. Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatra Utara.
F. Berikut ini beberapa dampak positif dan negatif dari diterapkannya politik Pintu Terbuka:

Dampak Positif
  1. Sistem tanam paksa dihapuskan.
  2. Modal swasta asing mulai masuk dan ditanam di Indonesia.
  3. Rakyat Indonesia di pedesaan mulai mengenal arti pentingnya uang.
  4. Hindia Belanda (Indonesia) menjadi negara produsen hasil-hasil perkebunan yang penting.
  5. Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun proyek-proyek prasarana untuk mendukung dan memperlancar ekspor hasil-hasil perkebunan dari Indonesia.
Dampak Negatif
  1. Kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk, dimana pendapatan penduduk Jawa pada awal abad ke-20 untuk setiap keluarga dalam 1 tahun sebesar 80 gulden. Dari jumlah tersebut masih dikurangi untuk membayar pajak kepada pemerintah sebesar 16 gulden. Oleh karena itu, penduduk hidup dalam kemiskinan.
  2. Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 karena jatuhnya harga kopi dan gula yang berakibat buruk bagi penduduk.
  3. Menurunnya konsumsi bahan makanan, terutama beras, sementara pertumbuhan penduduk Jawa meningkat cukup pesat.
  4. Menurunnya usaha kerajinan rakyat Indonesia karena kalah bersaing dengan banyaknya barang-barang impor dari Eropa.
  5. Pengangkutan dengan gerobak menjadi merosot penghasilannya setelah adanya angkutan dengan kereta api.
  6. Rakyat menderita karena masih diterapkannya kerja rodi dan adanya hukuman yang berat bagi yang melanggar peraturan Poenate Sanctie.
  7. Terjadi perubahan kepemilikan tanah dan tenaga kerja
  8. Penduduk semakin bertambah, sedangkan lahan pertanian semakin berkurang karena disewa untuk perkebunan. Akibatnya timbul kelaparan dimana-mana.
Disusun Oleh :

1. Angga Budhi K
2.Hartiwi
3.Hanijaya I P
4.Zulifa Khoirul U
5.Taufiq Ramadhan
6.None Akhsa

2 comments: