Setelah kalangan liberal meraih kemenangan politik di Belanda, muncullah perhatian pada kemakmuran rakyat wilayah jajahan. Penganut politik liberal, seperti Van Deventer, mendesak pemerintah Belanda untuk meningkatkan kehidupan wilayah jajahan. Desakan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa rakyat daerah jajahan telah bekerja keras memberikan kemakmuran kepada Belanda. Oleh karena itu, Belanda wajib memberikan kemakmuran bagi rakyat di wilayah jajahan sebagai balas budi atas kerja keras mereka.
A. Pemikiran-Pemikiran Politik Etis
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.
Politik Etis didasarkan pada pemikiran-pemikiran yang pada dasarnya baik, karena sifatnya berperikemanusiaan. Pemikiran dalam Politik Etis bertumpu pada pendapat bahwa orang-orang kulit putih diwajibkan melaksanakan tugas suci (mission sacre), yaitu memajukan peradaban penduduk pribumi yang masih sangat rendah. Tugas ini diwujudkan dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, dan menyebarkan agama kristiani.
C. Th. Van Deventer mengemukakan pendiriannya dalam majalah De Gids (1899) dengan judul Hutang Kehormatan (een Ereschuld). Sebagai seorang tokoh etis, van Deventer tidak menyetujui pendirian kaum liberal yang hanya mau mencari keuntungan dan kekayaan diri sendiri. Kemakmuran yang diperoleh Belanda merupakan jasa orang-orang Hindia Belanda. Sebagai bangsa beradab, seharusnya bangsa Belanda merasa berutang budi. Menurut van Deventer, utang budi tersebut perlu dibayar melalui tiga cara, yaitu irigasi, edukasi, dan migrasi. Ketiga cara tersebut selanjutnya dikenal dengan Trilogi van Deventer.
Pendapat para pemikir etis mendapat tanggapan dari pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan ekonomi dari penduduk Indonesia. Hal ini berarti bahwa Belanda akan mengakui hak penduduk untuk ditingkatkan peradabannya.
B. Pelaksanaan Politik Etis
Politik Etis yang pada dasarnya baik karena berdasar perikemanusiaan ternyata pelaksanaannya jauh dari yang diharapkan. Kepentingan Belanda masih dominan dalam pelaksanaan Politik Etis. Usulan tentang Trilogi van Deventer dapat diterima oleh pemerintah Belanda. Akan tetapi, pelaksanaannya diselewengkan menjadi politik Asosiasi yang hanya menguntungkan pemerintah Belanda. Hal-hal berikut ini merupakan penyimpangan dalam pelaksanaan Politik Etis.
1. Edukasi (pendidikan), dilaksanakan hanya untuk menghasilkan tenaga-tenaga kerja terdidik bagi Belanda yang bersedia diberi upah rendah.
2. Irigasi (pengairan), dilaksanakan hanya untuk mengairi sawah-sawah yang disewa oleh pengusaha-pengusaha Belanda.
3. Migrasi (perpindahan penduduk), dilaksanakan hanya untuk memenuhi tenaga kerja yang dipekerjakan di perkebunan-perkebunan Belanda di luar Pulau Jawa.
Dengan demikian, meskipun Belanda telah melaksanakan Trilogi van Deventer, namun belum dapat mengubah nasib bangsa Indonesia. Politik Etis lebih menguntungkan Belanda dibandingkan Indonesia. Namun, dalam bidang pendidikan, bangsa Indonesia telah memperoleh kemajuan. Bangsa Indonesia diperbolehkan belajar di sekolah-sekolah model Barat, bahkan hingga ke perguruan tinggi, meskipun ketentuan ini hanya berlaku bagi golongan tertentu. Namun, kesempatan yang hanya sedikit ini telah melahirkan golongan intelektual.
C. Dampak Politik Etis
Politik etis sangat berpengaruh dalam bidang pengajaran dan pendidikan yaitu dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah satu orang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam hal ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang merupakan Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan dari tahun 1900 sampai dengan 1905.Sejak tahun 1900 mulai berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Terjadi pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.
Mulai banyak berdiri organisasi pergerakan nasional sebagai suatu dampak dari berkembangnya mental dan pemikiran bangsa Indonesia sebagai salah satu hasil dari kemajuan pendidikan nasional yang dialami oleh para penduduk pribumi khususnya.
D. Kegagalan Politik Etis
- Politik Etis yang dilaksanakan pada tahun 1900-1914, mulai menunjukkan kegagalan. Hal ini disebabkan faktor-faktor berikut ini.
- Terjadinya pandangan-pandangan yang berbeda di kalangan Belanda, sehingga para pelaksana Politik Etis, seperti para gubernur jenderal mulai ragu-ragu dan tidka berani secara tegas dalam menjalankan politik kolonialnya atas Indonesia.
- Timbulnya kaum cerdik pandai Indonesia yang menjadi motor pergerakan nasional Indonesia yang berhasil mempersatukan bangsa Indonesia sebagai satu kekuatan nasional untuk memperoleh kemerdekaan.
- Timbulnya pergerakan nasional Indonesia sebagai wadah perjuangan dalam lingkup Indonesia sebagai kesatuan dan dengan cara-cara modern dalam berorganisasi. Jadi, tidak lagi bersifat kedaerahan dan hanya bergantung pada karisma seorang pemimpin.
- Timbulnya Perang Dunia I, yang banyak mengubah kebijakan dunia, khususnya mengenai hubungan negara penjajah dan negara terjajah. Akibatnya, Belanda terpaksa mendirikan Dewan Rakyat (Volksraad).
- Tidak semua usaha Belanda berhasil dalam melaksanakan Politik Etis. Misalnya, makin kuat mengalirnya penduduk dari luar Jawa ke Jawa guna memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, bertentangan dengan emigrasi yang sedang dilakukan pemerintah Belanda. Akibatnya, muncul kegelisahan sosial yang meletus dalam wujud pemberontakan petani yang terjadi di Jambi, Cimareme, dan Toli-toli.
Oleh :
Abraham G P (01)
Anindita F A (06)
Chandraka R K(10)
Irish Vania S G (18)
Rizky Murdiana(23)
Widyasari P (29)
Abraham G P (01)
Anindita F A (06)
Chandraka R K(10)
Irish Vania S G (18)
Rizky Murdiana(23)
Widyasari P (29)
0 comments:
Post a Comment