Wednesday 24 August 2016

Cultuur Stelsel

Cultuur Stelsel





Pemerintah Belanda terus mencari cara bagaimana untuk mengatasi problem ekonomi. Berbagai pendapat dilontarkan oleh para tokoh dan pemimpin. Salah satunya pada tahun 1829, seorang bernama Johannes Van den Bosch mengajukan pada raja Belanda usulan yang berkaitan dengan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia, Konsep itu dikenal dengan nama Cultuur Stelsel.

Johannes Van den Bosch


Cultuur Stelsel atau yang lebih dikenal dengan tanam paksa didasarkan atas hukum adat yang menyatakan bahwa “barang siapa berkuasa di suatu daerah ia memiliki tanah dan penduduknya”, sebelum kedatangan belanda, raja raja di Nusantara berkuasa atas kepemilikan tanah dan penduduk. ketika para raja tersebut takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja tersebut. oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanaman kepada pemerintah Belanda.


A. Latar Belakang Sistem Tanam Paksa


Hal yang mendorong Van den Bosch menerapkan kebijakan Sistem Tanam Paksa adalah :

1. Belanda kehilangan banyak biaya perang akibat keterlibatannya dalam berbagai peperangan semasa kejayaan Napoleon.
2. Terjadinya perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan berpisahnya Belgia dari Belanda pada 1830.
3. Terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830) yang menelan biaya besar (sekitar 20.000.000 Golden).
4. Kosongnya kas Belanda dan hutang besar yang ditanggung Belanda.
5. Pemasukan Belanda dari penanaman kopi tidak banyak.
6. Kegagalan dalam usaha mempraktekkan system liberal.


Penangkapan Diponegoro yang menandai berakhirnya Perang Diponegoro


B. Aturan-Aturan Tanam Paksa

1. Rakyat diwajibkan menyediakan 1/5 dari lahan garapan miliknya untuk ditanami tanaman wajib (tanaman yang berkualitas ekspor).
2. Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib dibebaskan dari pajak tanah.
3. Hasil panen tanaman wajib harus diserahkan kepada pemerintah colonial, dan setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayar akan dibayarkan kembali pada rakyat.
4. Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk penggarapan tanaman wajib tidak boleh melebihi tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
5. Mereka yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari pertahun di lahan milik pemerintah Belanda.
6. Kegagalan panen tanaman wajib menjadi tangung jawab pemerintah, selain itu menjadi tanggung jawab rakyat.
7. Penggarapan tanaman wajib dibawah pengawasan langsung dari penguasa pribumi, pegawai Belanda mengawasi secara umum jalannya penggarapan dan pengangkutan.

Rakyat dipaksa bekerja di perkebunan milik pemerintah
dengan diawasi Pegawai Belanda

C. Pelaksanaan Cultuur Stelsel

Pada dasarnya dalam pelaksanaan sistem tanam paksa banyak sekali penyimpangan yang terjadi, aturan-aturan tanam paksa tidak diterapkan sebagaimana mestinya, yakni :

1. Rakyat lebih mencurahkan tenaga dan waktu untuk tanaman ekspor, sehingga tidak sempat mengerjakan sawah dan lading yang berakibat berkurangnya pangan bagi rakyat.
2. Rakyat yang tidak memiliki lahan harus bekerja melebihi batas waktu yang telah ditentukan.
3. Jatah tanah tanaman kualitas ekspor melebihi 1/5 tanah garapan, dan harus berada ditanah subur, akibatnya tanaman padi untuk pangan rakyat ditanam di lahan yang kurang subur sehingga hasil panen tidak maksimal.
4. Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib tetap dikenai pajak.
5. Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayar tidak dibayarkan kembali pada rakyat.
6. Kegagalan panen tanaman wajib tetap menjadi tanggung jawab rakyat.

Yang jelas pelaksanaan Tanam Paksa tidak sesuai dengan peraturan yang tertulis. Hal ini telah mendorong terjadinya tindak korupsi dari para pegawai dan pejabat yang terkait pelaksanaan Cultuur Stelsel. Tanam Paksa telah membawa penderitaan pada rakyat. Banyak pekerja yang jatuh sakit. Mereka dipaksa focus bekerja untuk Tanam Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarga tidak terurus. Bahkan kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah. Misalnya di Cirebon (1843-1844) di Demak (1849) dan Grobogan pada 1850.



Pelaksanaan peraturan yang demikian menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, antara lain :

1. Rakyat Indonesia
2. Kaum Pengusaha (Kapitalis)
3. Kaum Humanis Belanda seperti Baron van Hoevel dan E. Douwes Dekker


E. Douwes Dekker (Multatuli) dan Bukunya yang berjudul Max Havelaar


Kaum Liberal menuntut pelaksanaan tanam paksa di Hindia Belanda diakhiri. Hal tersebut didorong oleh terbitnya 2 buah buku pada 1860 yaitu buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samara Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak-Kontrak Gula) tulisan Frans van de Pute. Kedua buku ini memberikan kritik keras terhadap pelaksanaan tanam paksa dan penolakannya sudah menjadi pendapat umum. Oleh karena itu, secara berangsur-angsur mulai dihapus dan mulai diterapkan sistem politik ekonomi liberal.


D. Akibat dari Pelaksanaan Tanam Paksa

Tanam Paksa membawa dampak positif dan negative baik untuk Indonesia maupun Belanda. Dampak tersebut adalah :

1. Bagi Indonesia
a. Memunculkan kemiskinan, kesengsaraan, dan kelaparan.
b. Hasil produksi padi merosot
c. Dikenal berbagai jenis tanaman perkebunan
d. Rakyat Indonesia mengenal cara bercocok tanam secara modern
e. Dibangunnya berbagai saluran irigasi
f. Dibangunnya jaringan rel kereta api

Peta Jalur Kereta Api Masa Kolonial Belanda



2. Bagi Belanda

a. Kas negara Belanda yang kosong terisi penuh.
b. Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c. Pabrik-pabrik Belanda kembali dapat beroperasi.
d. Kota Amsterdam dijadikan tempat pemasaran hasil tanaman dari daerah tropis.
e. Pelayaran dan perdagangan mengalami peningkatan.

Maaf tulisan ini masih belum sempurna, karena Kesempurnaan hanya milik Allah SWT.

SEKIAN SEMOGA BERMANFAAT


Penyusun :


1. Bima Aji K (08)


2. Enggar Puspitarini (12)


3. Intan Salfa Z (17)


4. Muhammad Ezar A (19)


5. Nastiti Ajeng P (20)


6. Pertiwi Oktavia S (22)


7. Widya Wati (28)






Uploader : Bima Aji K

0 comments:

Post a Comment